Sebelum Ajal Menjelang
Perputaran waktu tidak bisa dihentikan sesaat saja. Sumbu hidup pun perlahan mulai memendek menunggu waktu terpisahnya ruh dan jasad, karena setiap yang bernyawa memiliki batas usia. Jika ia sampai di batas akhir usianya, maka selesailah perjalanan hidupnya di dunia.
وَلَنْ يُّؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَآءَ أَجَلُهَا وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.”. (Q.S. al-Munafiqun [63]: 11).
Tetapi jauh sebelum itu terjadi, apakah kita sudah benar-benar menyiapkan para pengganti yang akan meneruskan perjuangan dakwah ini? Sudah adakah generasi yang akan melanjutkan perjalanan dakwah yang penuh tantangan ini? Pertanyaan. yang perlu dijawab dengan tindakan nyata. Menciptakan generasi berkualitas demi keajegan dan kemajuan dakwah Quran-Sunnah.
Inspirasi Pohon Pisang
Mari belajar sejenak kepada pohon pisang. Sebelum berbuah pohon pisang tidak akan pernah mati. Meskipun ditebang, tubuhnya tumbuh kembali dengan “wajah” yang lebih segar. Berulangkali pun ia ditebang, batangnya akan terus memunculkan “jasad” baru yang lebih fresh. Kecuali jika dicabut atau dibabad akarnya. Itu lain soal.
Pohon pisang baru akan mati jika ia sudah menghasilkan buah perjuangannya tanpa harus “dibunuh” oleh kita. Hebatnya lagi, sebelum mati ia sudah menyiapkan tunas-tunas baru yang siap meneruskan “perjuangannya” untuk menghadirkan buah bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Mahasuci Allah….
Bagaimana dengan kita yang sejatinya lebih mulia daripada pohon pisang tersebut? Tentu saja inspirasi ini tidak bisa hanya dijadikan sebatas pelajaran, melainkan ditindaklanjuti dengan harakah (pergerakan, usaha) dalam rangka membentuk para pelanjut dakwah yang berkualitas secara intelektual, emosional, spiritual, ekonomi, dll..
Generasi Berkualitas
Mengkaji bimbingan Luqman al-Hakim terhadap anaknya di dalam al-Quran, terdapat tiga hal pokok yang mesti menjadi perhatian orang tua dalam mendidik anak, yaitu tauhid, syariat dan akhlaq.
Tauhid menjadi prioritas utama dalam pendidikan. Secara simpel tauhid berarti menunggalkan Allah dan tidak menduakan-Nya, baik dalam rububiyyah (penciptaan dan pemeliharaan alam), uluhiyyah (penuhanan, pengabdian) dan asma wash-shifat (nama dan sifat-sifat Allah). Jika ditarik benang merah, tauhid merupakan keyakinan yang mengakar di dalam hati akan Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam serta sebagai Dzat yang hak untuk diibadahi, yang memiliki nama dan sifat-sifat yang tiada duanya.
Fokus didikan selanjutnya adalah refleksi syariat. Syariat berarti jalan. Jalan merupakan sarana untuk menempuh perjalanan menuju tujuan. Tanpa menempuh jalan kita tidak mungkin sampai ke tempat tujuan. Begitu juga dengan syariat. Syariat sebagai jalan munuju tujuan yaitu ridla Allah swt., mutlak untuk ditempuh oleh setiap muwahhidullah atau yang bertauhid kepada Allah, baik syariat yang mengatur hubungan langsung dengan Allah (hablun minallah) atau syariat yang mengatur hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas).
Alhasil, ketika tauhid mengakar di dalam hati, kemudian dibuktikan dengan kepatuhan dalam menjalankan syariat agama, maka anak secara otomatis akan memiliki akhlak yang baik sebagai wujud dari ketaatan terhadap agama. Inilah sasaran pendidikan Luqman terhadap anaknya. Memiliki akhlak yang mulia sebagaimana Rasulullah Sang Teladan kita.
Jelasnya, generasi berkualitas yang dikehendaki Luqman al-Hakim adalah generasi yang mantap dalam bertauhid, menjalankan syariat sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya, dan mampu bersosialisasi dengan akhlak Islam.
Jika dirinci berasarkan ayatnya, karakter generasi tersebut antara lain:
1. Tidak menduakan Allah (syirik) dalam berkeyakinan dan menjalankan ibadah
2. Menjaga shalat baik waktunya, kualitasnya maupun nilai-nilainya didalam kehidupan sehari-hari
3. Mendakwahkan Islam (amar ma’ruf nahy munkar)
4. Sabar dalam segala bentuk ujian Allah
5. Menghargai sesama dalam perbedaan baik berbeda aqidah maupun perbedaan dalam pemahaman syariat
6. Memiliki sikap rendah hati (tawadlu’)
7. Bertutur kata yang sopan dan santun
Akhirnya, hanya kepada Allah lah kita menyandarkan segalanya. Semoga apa yang menjadi cita-cita kita yaitu memiliki generasi yang berkualitas dalam segala segi kehidupan bisa terwujud, sehingga tak cemaslah kita meninggalkan dunia ini karena ada yang akan melanjutkan perjuangan. Tetapi, jika tidak ada generasi penerus maka takutlah kita terhadap masa depan Islam.
Allah swt. mewanti-wanti,
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوْا اللهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. an-Nisa [4]: 9).
Inti Permasalahan
Inti dari permasalahan ini adalah orang tua wajib mendidik anak agar menjadi saleh. Hakekat kebahagiaan yang didamba setiap insan tiada lain memiliki keturunan yang shalih-shalihah. Pasalnya, di dunia anak saleh akan menyejukkan hati dan di akhirat anak saleh akan mengangkat derajat orang tuanya.
نَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ: أَنَّى لِي هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
Sesungguhnya seorang laki-laki diangkat derajatnya di surga. Lalu ia bertanya kepada Allah, “Dari mana ini (Ya Allah)?”. Dijawab, “(Hal ini) karena istigfar anakmu untukmu”. (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Baihaqi, Thabrani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar