Oleh: Fauzi Rahmanul Hakim
Setiap manusia menghendaki kemuliaan, kebesaran, dan kejayaan. Ini wajar karena ia dilahirkan sebagai makhluk yang dimuliakan. Karena mulia adalah sesuatu yang potensial dalam dirinya, sehingga untuk meraihnya pun sebenarnya tidak sulit.
Ketika manusia lahir ke dunia, berbagai potensi yang dibawa manusia menunjukkan kehormatan dan kebesaran manusia itu sendiri. Ia merupakan cerminan dari Dzat yang menciptakannya. Potensi yang langsung dibawa oleh manusia sejak lahir adalah Allah telah memuliakannya (Q.S. Al-Isra` [17]: 70), Allah telah melebihkan manusia atas makhluk yang lain (Q.S. Al-Isra` [17]: 70), Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia itu sendiri ( Q.S. Luqman [31]: 20), Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk mengemban amanah (Q.S. Al-Ahzab [33]: 72). Semua potensi tersebut menunjukkan kehormatan dan kebesaran manusia.
Manifestasi dari semua potensi tersebut adalah manusia memiliki cita-cita yang sangat besar. Cita-cita besar itu tiada lain adalah Dunia Bahagia Akhirat Surga (DBAS). Namun potensi yang diwujudkan dalam amal kita, sepenuhnya belum dinyatakan baik di sisi Allah. Bisa jadi yang dikira amal kita itu baik dinilai Allah sebagai amal yang buruk begitu juga sebaliknya.
Suatu amal perbuatan akan dinilai dan diterima sebagai ibadah bila ia memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat. Amal itu tidak dicampuri oleh sifat ujub, riya, sombong, dsb.
Nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut memberikan kita pelajaran agar tidak berlaku ujub. Sifat ujub membuat amalan yang kita lakukan seakan-akan sirna. Akibatnya, neraka pun yang bisa jadi ancaman sehingga beramal baik pun tidak selamanya berujung baik. Bisa jadi ujungnya adalah seperti ini karena rasa ujub dalam diri.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Sebagian ulama salaf, di antaranya Sa’id bin Jubair berkata,
إنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ فَيَدْخُلُ بِهَا النَّارَ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ فَيَدْخُلُ بِهَا الْجَنَّةَ يَعْمَلُ الْحَسَنَةَ فَيُعْجَبُ بِهَا وَيَفْتَخِرُ بِهَا حَتَّى تُدْخِلَهُ النَّارَ وَيَعْمَلُ السَّيِّئَةَ فَلَا يَزَالُ خَوْفُهُ مِنْهَا وَتَوْبَتُهُ مِنْهَا حَتَّى تُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang beramal kebaikan malah ia masuk neraka. Sebaliknya ada pula yang beramal kejelekan malah ia masuk surga. Yang beramal kebaikan tersebut, ia merasa ujub (bangga dengan amalnya), lantas ia pun berbangga diri, itulah yang mengakibatkan ia masuk neraka. Ada pula yang beramal kejelekan, namun ia senantiasa takut (akan adzab Allah) dan ia iringi dengan taubat, itulah yang membuatnya masuk surga.”
Diterimanya amal/ibadah seseorang tergantung pada tiga syarat:
1. Disertai dengan niat
2. Disyariatkan
3. Caranya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw.
Dalam beramal juga diperlukan beberapa kriteria yang dapat menyempurnakan sebuah amalan. Konsep NiNiNa (Niat, Nishab, dan Nasib) adalah kriteria untuk mewujudkan keberhasilan amal kita diterima oleh Allah sehingga beramal baik dan berbuah surga.
Konsep NiNiNa tersebut antara lain:
1. Niat
Siapapun orangnya ketika ia dengan sadar akan melakukan suatu perbuatan, maka niat menjadi dasar sebelum melakukan hal tersebut. Ketika seseorang berbuat dengan penuh kesadaran, tujuan yangdiharapkan sesuai dengan niat atau tekad yang kuat (‘azam). Sabda Nabi saw. dalam suatu hadits, “Sesungguhnya (setiap) amal itu tergantung pada niatnya.”
Saking urgensinya peran niat ini, bahkan dalam satu keterangan ditegaskan bahwa niat seorang mukmin itu lebih baik dari amalnya (niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi), maka menjaga niat agar tetap ikhlas adalah suatu kemestian Memang bisa dikatakan bahwa suatu amalan tanpa niat ibarat orang yang sedang mengingau dalam tidurnya. Pada hakikatnya niat inilah yang menjadi ukuran tercapainya suatu tujuan secara jelas.
2. Nishab
Nishab bisa diartikan sebagai ukuran atau standar suatu amalan yang layak untuk diamalkan. Dalam kata lain bisa dipahami sebagai standar minimal dalam sebuah amalan.
Dalam konteks ibadah haji atau zakat misalnya, orang yang sudah terkena kewajiban ibadah adalah orang yang masuk kategori istitha’ah (mampu) secara materi dan sebagainya. Makna nishab ini lebih cenderung pada kemampuan secara materi atau fisik. Dan, orang yang belum mencapai nishab tersebut pada dasarnya tidak harus memaksakan kehendaknya.
Namun demikian, selain adanya standar materi dari istilah nishab, prinsip kejujuran pun sangat menentukan kriteria nishab ini. Pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang mengelak dari kewajiban hanya merasa dirinya belum mencapai nishab padahal sebenarnya dia sudah masuk ke dalam kriteria istitha’ah di atas.
3. Nasib
Faktor nasib adalah faktor berikutnya dari kesuksesan atau tercapainya maksud sebuah amalan. Orang sering mengidentikkan nasib ini lebih cenderung pada rasa sayang Allah swt. pada dirinya. Bisa juga dianggap sebagai faktor X (rahasia) Tuhan pada hamba-Nya.
Banyak contoh nyata dalam kehidupan, orang yang bisa melaksanakan ibadah haji misalnya, secara materi ia tidak memenuhi kriteria istitha’ah tapi karena faktor nasib pada akhirnya bisa berangkat juga. Tukang masak bisa pergi haji karena keahliannya memasak, tukang pijat bisa berangkat karena keahliannya diperlukan oleh sang majikan untuk memijat, tukang cukur bisa berangkat karena keahlian mencukurnya dibutuhkan, sampai sopir pun bisa berangkat karena kemampuannya diperlukan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pada akhirnya faktor Ni-Ni-Na bisa dianggap sebagai kunci dalam kesuksesan seseorang dalam beramal. Usaha yang maksimal dari seorang muslim tentunya dituntut untuk bisa mewujudkan segala cita dan harapannya. BERAMAL BAIK DAN MASUK SURGA!
Wallahu ‘alam
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar