Selasa, 06 November 2012

Menengok Kembali Esensi Kurban

Oleh: Nandang Herdiana, S.Pd.I

Pelaksanaan ibadah kurban telah berlalu. Semoga amal ibadah para pengurban diterima oleh Allah SWT sebagai amalan shalihan mutaqabbalan. Âmīn ya Rabbal ‘ālamīn.
       Sejenak kita menengok kembali terhadap ibadah kurban. Paling tidak terdapat dua esensi dari pelaksanaan ibadah kurban.

Esensi Pertama
       Pada dasarnya ibadah kurban ialah ibadah yang tidak berdiri sendiri. Dengan kata lain bahwa kurban itu adalah ibadah yang ada kaitannya dengan ibadah yang lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan alasan sebagai berikut:
       Pertama, ibadah kurban merujuk kepada pelaksanaan syari’at ibadah haji, yaitu menyembelih hewan yang disebut dengan hadyu (istilah fiqih). Hukumnya wajib khusus bagi yang sedang ibadah haji karena jika tidak dilaksanakan ada kifarat (sanksi) yaitu shaum tiga hari ketika ibadah haji dan tujuh hari ketika sudah berada di kampung halaman. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban ya mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib shaum tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 196).
       Kedua, pelaksanaan ibadah haji pun merujuk kepada amaliyah Nabi Ibrahim a.s. beserta keluarga. Yaitu ketika Nabi Ibrahim a.s. diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail a.s.. (Q.S. ash-Shafat [37]: 102-107)
       Dengan demikan sangat jelas bagi kita kaum muslimin, bahwa ibadah kurban adalah ibadah tua usia dari semenjak Nabi Ibrahim a.s. sampai sekarang. Bagi yang melaksanakan haji adalah menyembelih al-hadyu dan bagi yang tidak melaksanakan haji adalah adalah menyembelih hewan kurban.
       Baik hadyu (bagi yang haji) ataupun kurban (bagi yang tidak haji), semuanya merujuk kepada satu titik amalan yaitu amaliyah Nabi Ibrahim a.s. beserta keluarganya. Oleh karena itu, dalam do’a tahiyat senantiasa dikaitkannya antara Nabi Muhammad saw. dan Nabi Ibrahim a.s. (Allāhumma shālli ‘alā Muhammad wa’alā āli Muhammad kamā shallaita ‘alā āli Ibrahīma. Wabārik ‘alā Muhammad wa’alā āli Muhammad kamā bārakta ‘alā āli Ibrāhīma fil ‘ālamīna innaka hamīdum majīd….).

Esensi Kedua
       Sejarah mencatat bahwa diujinya Nabi Ibrahim a.s. dengan berbagai ujian (harus menjauhkan anak dan istrinya serta harus menyembelih anaknya) adalah “karena adanya keinginan beliau untuk memiliki anak dan keturunan yang shaleh yang dapat melanjutkan perjuangan sebagai wujud tanggung jawabnya atas kelangsungan Agama Islam”.
       Alasan ini dapat kita pahami dari firman Allah SWT dalam Q.S. ash-Shafat (37) ayat 100-107:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِين  فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ  فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ  فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ  قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ  وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Ia (Ibrahim) berdo’a :”Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku keturunan yang shaleh. Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang baik. Maka ketika anak itu mampu berusaha sendiri, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi (bahwa aku diperintah oleh Allah) agar aku  menyembilihmu, maka bagaimana pendapatmu?” Lalu ia (Ismail) berkata, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk kepada golongan orang yang sabar. Maka tatkala keduanya berserah diri dan pisau pun telah ia (Ibrahim) simpan di lehernya (Ismail), Kami memanggilnya, “Wahai Ibrahim, engkau telah membenarkan mimpi  itu”. Begitulah Kami membalas orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini adalah benar-benar ujian yang nyata. Dan kami gantikan ia dengan sembelihan yang besar”.
       Siapapun orangnya, di manapun tempat tinggalnya, selama ia adalah muslim, maka harus selalu memiliki obsesi, keinginan, dan cita-cita untuk memiliki harta, tahta dan wanita yang shaleh. Harta yang shaleh mencakup materi, finansial, anak dan keturunan. Tahta yang shaleh mencakup pangkat dan jabatan yang dijalankan dengan baik da benar. Dan, wanita yang shaleh adalah pasangan hidup yang shaleh, taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
       Konsekuensi logisnya adalah harus siap menerima tantangan dan rintangan. Tantangan dan rintangan itulah yang dinamakan ujian dan cobaan. Seperti halnya ujian dan cobaan yang diterima Nabi Ibrahim a.s..

Memiliki Keturunan v.s. Kenyataan
       Seorang muslim perlu menyadari dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, adakah ia berkeinginan memiliki keturunan, tahta dan wanita yang shaleh? Kedua, ia harus siap menerima kenyataan yang akan ia hadapi dari keinginan tersebut.
       Perlu diyakini oleh seorang muslim, bahwa ujian dan cobaan dari Allah SWT tidak akan menjadikannya sebagai orang yang hina dan nestapa. Namun sebaliknya, bahwa ujian dan cobaan itu akan menjadikannya orang yang bermartabat dan memiliki derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT sesuai dengan amalan yang ia lakukan demi melaksanakan ketaannya kepada Allah SWT.
       Dan sebaliknya manakala seorang muslim tidak diuji oleh Allah SWT, ada kemungkinan orang tersebut tidak memiliki keinginan dan cita-cita yang menjadikannya lebih bermartabat di hadapan Allah SWT. Dengan kata lain, perjuangan perlu pengorbanan. Pengorbanan waktu dan kesempatan, pengorbanan tenaga dan harta, pengorbanan syahwat dan keinginan.
       Jauh sebelumnya, Allah SWT telah menggariskannya dalam al-Quran:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِين
“Dan benar-benar Kami akan menguji mereka dengan rasa takut, lapar, berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Maka gembirakanlah orang-orang yang sabar” (Q.S. al-Baqarah [2]: 155).
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُم
“Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan kami menyatakan (baik dan buruknya) hal ihwalmu”. (Q.S. Muhammad [47]: 31).
       Untuk sekian tahun yang akan datang, sebagai seorang muslim, kita senantiasa akan diuji dan dihadapkan kepada permasalahan yang kompleks. Mulai dari masalah pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya.
       Sebagai akhir dari tulisna ini, penulis mencoba memberikan solusi alternatif dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Solusi tersebut dapat disingkat dengan dengan AKI (Aktif, Kreatif dan Inovatif)
       “Faidzā faraghta fanshab wailā rabbika farghab” (Dan jika kamu sudah menyelesaikan suatu urusan, selesaikanlah urusan yang lain!).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar