Pelaksanaan
ibadah kurban telah berlalu. Semoga amal ibadah para pengurban diterima oleh
Allah SWT sebagai amalan shalihan mutaqabbalan. Âmīn ya Rabbal
‘ālamīn.
Sejenak kita menengok kembali terhadap
ibadah kurban. Paling tidak terdapat dua esensi dari pelaksanaan ibadah kurban.
Esensi
Pertama
Pada dasarnya ibadah kurban ialah ibadah
yang tidak berdiri sendiri. Dengan kata lain bahwa kurban itu adalah ibadah
yang ada kaitannya dengan ibadah yang lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan
alasan sebagai berikut:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ
أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ
حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ
أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا
أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ
أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh
musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan
jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau
bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa
yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) kurban ya mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang
kurban atau tidak mampu), maka wajib shaum tiga hari dalam masa haji dan
tujuh hari (lagi) apabila telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
keluarganya tidak berada (di sekitar) masjidil haram (orang-orang yang bukan
penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
sangat keras siksaan-Nya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 196).
Kedua, pelaksanaan
ibadah haji pun merujuk kepada amaliyah Nabi Ibrahim a.s. beserta
keluarga. Yaitu ketika Nabi Ibrahim a.s. diperintah oleh Allah SWT untuk
menyembelih putranya, Nabi Ismail a.s.. (Q.S. ash-Shafat [37]: 102-107)
Dengan demikan sangat jelas bagi kita
kaum muslimin, bahwa ibadah kurban adalah ibadah tua usia dari semenjak Nabi
Ibrahim a.s. sampai sekarang. Bagi yang melaksanakan haji adalah
menyembelih al-hadyu dan bagi yang tidak melaksanakan haji adalah adalah
menyembelih hewan kurban.
Baik hadyu (bagi yang haji)
ataupun kurban (bagi yang tidak haji), semuanya merujuk kepada satu titik
amalan yaitu amaliyah Nabi Ibrahim a.s. beserta keluarganya. Oleh karena itu,
dalam do’a tahiyat senantiasa dikaitkannya antara Nabi Muhammad saw. dan
Nabi Ibrahim a.s. (Allāhumma shālli ‘alā Muhammad wa’alā āli Muhammad
kamā shallaita ‘alā āli Ibrahīma. Wabārik ‘alā Muhammad wa’alā āli Muhammad kamā
bārakta ‘alā āli Ibrāhīma fil ‘ālamīna innaka hamīdum majīd….).
Esensi
Kedua
Sejarah mencatat bahwa diujinya Nabi
Ibrahim a.s. dengan berbagai ujian (harus menjauhkan anak dan istrinya serta
harus menyembelih anaknya) adalah “karena adanya keinginan beliau
untuk memiliki anak dan keturunan yang shaleh yang dapat melanjutkan perjuangan
sebagai wujud tanggung jawabnya atas kelangsungan Agama Islam”.
Alasan ini dapat kita pahami dari firman
Allah SWT dalam Q.S. ash-Shafat (37) ayat 100-107:
رَبِّ
هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِين فَبَشَّرْنَاهُ
بِغُلامٍ حَلِيمٍ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ
السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا
إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا
إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ
الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ
عَظِيمٍ
“Ia (Ibrahim)
berdo’a :”Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku keturunan yang shaleh. Maka Kami
beri kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang baik. Maka ketika anak
itu mampu berusaha sendiri, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya
aku bermimpi (bahwa aku diperintah oleh Allah) agar aku menyembilihmu, maka bagaimana pendapatmu?”
Lalu ia (Ismail) berkata, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan
kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk kepada golongan orang
yang sabar. Maka tatkala keduanya berserah diri dan pisau pun telah ia (Ibrahim)
simpan di lehernya (Ismail), Kami memanggilnya, “Wahai Ibrahim, engkau telah
membenarkan mimpi itu”. Begitulah Kami
membalas orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini adalah benar-benar
ujian yang nyata. Dan kami gantikan ia dengan sembelihan yang besar”.
Siapapun orangnya, di manapun tempat
tinggalnya, selama ia adalah muslim, maka harus selalu memiliki obsesi, keinginan,
dan cita-cita untuk memiliki harta, tahta dan wanita yang shaleh. Harta yang shaleh
mencakup materi, finansial, anak dan keturunan. Tahta yang shaleh mencakup
pangkat dan jabatan yang dijalankan dengan baik da benar. Dan, wanita yang shaleh
adalah pasangan hidup yang shaleh, taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Konsekuensi logisnya adalah harus siap
menerima tantangan dan rintangan. Tantangan dan rintangan itulah yang dinamakan
ujian dan cobaan. Seperti halnya ujian dan cobaan yang diterima Nabi Ibrahim
a.s..
Memiliki
Keturunan v.s. Kenyataan
Seorang muslim perlu menyadari dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, adakah ia berkeinginan memiliki
keturunan, tahta dan wanita yang shaleh? Kedua, ia harus siap menerima
kenyataan yang akan ia hadapi dari keinginan tersebut.
Perlu diyakini oleh seorang muslim,
bahwa ujian dan cobaan dari Allah SWT tidak akan menjadikannya sebagai orang
yang hina dan nestapa. Namun sebaliknya, bahwa ujian dan cobaan itu akan
menjadikannya orang yang bermartabat dan memiliki derajat yang tinggi di
hadapan Allah SWT sesuai dengan amalan yang ia lakukan demi melaksanakan
ketaannya kepada Allah SWT.
Dan sebaliknya manakala seorang muslim
tidak diuji oleh Allah SWT, ada kemungkinan orang tersebut tidak memiliki
keinginan dan cita-cita yang menjadikannya lebih bermartabat di hadapan Allah
SWT. Dengan kata lain, perjuangan perlu pengorbanan. Pengorbanan waktu dan
kesempatan, pengorbanan tenaga dan harta, pengorbanan syahwat dan keinginan.
Jauh sebelumnya, Allah SWT telah
menggariskannya dalam al-Quran:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِين
“Dan
benar-benar Kami akan menguji mereka dengan rasa takut, lapar, berkurangnya
harta, jiwa dan buah-buahan. Maka gembirakanlah orang-orang yang sabar” (Q.S.
al-Baqarah [2]: 155).
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ
أَخْبَارَكُم
“Dan
sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui
orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan kami menyatakan
(baik dan buruknya) hal ihwalmu”. (Q.S. Muhammad [47]: 31).
Untuk sekian tahun yang akan datang,
sebagai seorang muslim, kita senantiasa akan diuji dan dihadapkan kepada
permasalahan yang kompleks. Mulai dari masalah pendidikan, sosial, ekonomi dan
budaya.
Sebagai akhir dari tulisna ini, penulis
mencoba memberikan solusi alternatif dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Solusi
tersebut dapat disingkat dengan dengan AKI (Aktif, Kreatif
dan Inovatif)
“Faidzā faraghta fanshab wailā rabbika
farghab” (Dan jika kamu sudah menyelesaikan suatu
urusan, selesaikanlah urusan yang lain!).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar