Ayat
#2
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka
shalatlah karena Allah dan berqurbanlah!”
Huruf ف yang berarti maka, lalu,
kemudian; mengawali ayat kedua ini. Dalam Ilmu Nahwiyah, huruf ف salah
satunya bermakna littartib lil ittishal yakni menunjukkan pekerjaan yang
tertib atau runtut yang berlanjut tanpa terhalang oleh pekerjaan atau hal lain.
Nah, setelah menegaskan bahwa Nabi
dianugerahi al-kautsar, Allah memerintahkan Beliau untuk shalat dan kurban
dengan menggunakan kata depan ف tadi. Karena huruf ف tersebut salah satu maknannya littartib
lil ittishal, maka makna ayat ini berarti Nabi harus segera mendirikan
shalat dan berkurban. Tidak
ada jeda antara al-kautsar dengan shalat dan kurban. Segera!
Muncul pertanyaan, kenapa bentuk syukur
dalam ayat ini dengan shalat dan kurban? Mari kita telaah...
Tentang
Shalat
Sudah dipahami bahwa shalat merupakan
rukun Islam kedua setelah syahadat. Shalat merupakan ibadah yang tidak boleh
gugur karena keadaan apapun kecuali beberapa hal, yakni wanita haid dan nifas,
anak kecil, tidur (tidak sadar), dan hilang akal (gila).
Sedang sakit seberat apapun shalat tetap mesti dijalankan. Berbeda
dengan ketiga rukun setelahnya, jika kondisi tidak memungkinkan, maka hukum
menjadi gugur. Hukum shaum gugur sementara dan harus diganti jika yuthīqūnahu,
tidak mampu sama sekali atau sedang safar dan sakit. Pun dengan zakat dan haji,
jika belum mampu keduanya tidak menjadi wajib.
Apabila hendak ditayakan, “Kenapa sih
Allah segitu ketatnya memberlakukan syariat shalat, sampai-sampai sedang sakit
berat pun tetap kudu shalat?”, maka jawabannya bisa menukik pada faedah
dan hikmah yang terkandung di dalam shalat itu sendiri di samping sebagai
sumber pahala melimpah ruah.
Banyak buku yang secara khusus membahas tentang keutamaan shalat dalam
urusan fisik dan psikis. Kesimpulan berbagai buku tersebut secara tegas
menyatakan bahwa shalat itu memiliki efek positif terhadap kesehatan ruhani dan
jasmani. M. Soleh, misalnya. Demi mendapatkan gelar doktor dalam Ilmu
Kedokteran di Universitas Surabaya, beliau menghabiskan waktu untuk meneliti
tentang shalat. Dari hasil risetnya tersebut, dibuatlah kongklusi apik bahwa
shalat yang benar, baik dalam gerakan maupun keikhlasan dan kehusyuannya, akan
berdampak baik terhadap imunitas tubuh. Ini resmi diakui oleh Harvard
University Amerika Serikat.
Selain hikmah sehat di balik shalat, ada banyak hikmah lain yang
terkandung dalam syariat shalat, di antaranya:
1. Sebagai kafarat dosa-dosa kecil yang
ada di antara satu shalat dengan shalat lainnya.
2. Sebagai penegak agama, karena shalat
merupakan tiang agama.
3. Shalat merupakan tempat istirahat dan
relaksasi yang mudah, murah dan efektif.
4. Shalat adalah qurratu ‘ain (penyejuk mata
dan hati).
5. Kita berkomunikasi dan bertemu dengan Allah
melalui shalat.
6. Shalat bisa mencegah perbuatan keji dan
munkar.
7. Shalat adalah ibadah penentu amal-amal lain.
Jika beres shalatnya, maka dipastikan akan beres seluruh amalnya pada saat hisab
di akhirat kelak.
Maka, logis jika Allah menyuruh bersyukur yang manifestasinya adalah
shalat. Hikmah-hikmah shalat sebagaimana disebut akan diraih. Dengan begitu,
semakin sempurnalah al-kautsar yang Allah berikan kepada kita.
Dalam
beberapa tafsir dipahami bahwa shalat yang disebut dalam ayat ini adalah shalat
Idul Adha. Karena, shalat dalam ayat ini digandengkan dengan perintah
menyembelih hewan kurban. Namun, ada pula yang memahaminya sebagai shalat
secara umum, baik yang wajib maupun yang sunnat.
Tentang Qurban
Dalam ayat kedua ini, selain memerintah shalat
Allah pun memerintah untuk beribadah kurban sebagai bentuk syukur atas al-kautsar
yang diberikan.
Ibadah sembelihan ada tiga macam. Pertama, hadyu yakni ibadah
dalam bentuk menyembelih hewan kurban yang harus dilakukan oleh orang yang
sedang berhaji dan tempatnya khusus di Mekah. Hadyu ini merupakan bagian
dari rangkaian ibadah haji. Jika ditinggalkan, maka hajinya tidak sah. Adapun
waktunya adalah tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah.
Kedua, udlhiyah yang biasa disebut qurban, yaitu ibadah
dalam bentuk menyembelih hewan kurban yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak
sedang menjalankan ibadah haji. Tempatnya tidak tertentu harus di Mekah dan
waktunya mulai tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah.
Ketiga, aqiqah yakni ibadah dalam bentuk menyembelah hewan kurban
(khusus kambing) yang waktunya terbatas yakni di hari ketujuh dari kelahiran
bayi. Untuk bayi laki-laki 2 ekor kambing dan untuk bayi perempuan 1 ekor
kambing.
Ibadah menyembelih hewan kurban dalam ayat ini menggunakan kalimat وَانْحَرْ (dan berkurbanlah!).
Mari kita kaji ada apa di balik kata وَانْحَرْ ini.
Dilihat
dari sisi bahasa, kata وَانْحَرْ berasal dari kata dasar نَحَرَ yang artinya
beragam: shalat di awal waktu, tempat menggantungkan kalung (leher), bunuh diri
(إِنْتِحَارٌ), menyembelih,
cerdas, dan tabeat. Namun, kata وَانْحَرْ dalam ayat ini artinya
adalah sembelihlah atau berkurbanlah!
Jika boleh ditarik garis lurus antara arti menyembelih dan beragam arti
kata نَحَرَ ini, maka dapat
dibuat kalimat falsafah:
1. Orang yang berkurban hendaknya mampu menjaga
shalat di awal waktu.
2. Berkurban berarti memutuskan urat di leher
hewan kurban dan mengalirkan darahnya. Maka, orang yang berkuban harus mampu
memutuskan “urat” keburukan diri dan mengalirkan kebaikan kepada masyarakat.
3. Orang yang berkurban mesti memiliki
kecerdasan. Orang yang cerdas (اَلْكَيِّسُ) perspektif
hadits Nabi adalah yang membereskan dirinya dan banyak beramal untuk bekal
setelah meninggal.
4. Orang yang berkurban harus memiliki tabeat
atau akhlak yang baik.
Ayat #3
Motivasi Hidup
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ
“Sesungguhnya yang
membencimulah yang terputus itu”.
Ayat ini merupakan motivasi yang Allah berikan
kepada Nabi agar tidak larut dalam kesedihan karena hinaan dan pelecehan dari
kafirin Quraisy. Inti dari motivasi ini adalah menghindari prestise atau
pandangan manusia. Sesuatu amal ibadah jika niatnya ingin dipandang orang, amal
itu layaknya debu di atas batu licin yang tertiup angin kencang atau dihujam
hujan besar. Nihil!
Ibrah untuk kita adalah merupakan hal yang niscaya kita memiliki
motivasi dalam hidup. Terkadang seseorang kalah oleh persepsi atau pandangan
orang lain. Ciut, malu, merasa rendah, tidak pede, jika orang lain
mengkritik atau mencerca dan menghina. Ini tidak perlu. Kenapa? Pertama, apa
yang dipersepsikan orang belum tentu benar karena persepsi itu relatif
benarnya. Kedua, manusia itu pasti
memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika kelemahan diungkit, maka kembangkan dan
pertajamlah kelebihan. Sehingga, kekurangan akan terkubur dengan kelebihan yang
meninggi.
Ibrah selanjutnya adalah kita harus menghindari stigma al-abtar
dari Allah SWT. Al-abtar perpsepktif Allah adalah:
اَلْمَقْطُوْعُ
ذِكْرُهُ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Orang yang namanya terputus dari kebaikan dunia
dan akhirat”.
Lalu, bagaimana cara agar terhindar dari al-abtar persepktif
Allah tersebut? Satu saja kuncinya, yaitu taat. Ya, taat kepada Allah dalam
segala hal merupakan kunci agar terhindar dari stigma al-abtar: yang
terputus dari kebaikan dunia dan akhirat. Dan, taat ini ternyata menjadi tiket
menuju surga. Rasul bersabda:
كُلُّ
أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang
menolak. Para sahabat bertanya, ‘Siapa yang menolak masuk surga, hai
Rasulullah?’. Rasul menjawab, ‘Siapa yang taat kepadaku, ia masuk surga; dan
siapa yang maksiat kepadaku, dialah yang menolak masuk surga’.” (H.R. Bukhari).
Ibrah yang lain adalah kita tidak boleh melemparkan stigma kepada orang
lain. Dalam arti, serendah-rendahnya orang, tidak usah kita merendahkannya,
apalagi kalau meng-expose-nya ke orang lain. Ini ghibah. Dan, ghibah
haram hukumnya. Selain itu, merendahkan
orang lain, bisa saja menjadi bumerang: orang balik merendahkan kita dan
mungkin saja Allah pun merendahkan diri kita. Na’udzu billah min dzalik.
Khatimah
Kita review materinya bahwa Surat al-Kautsar
menjelaskan tiga hal pokok yaitu (1) kita adalah makhluk yang kaya dengan
penganugerahan al-kautsar dari Allah, (2) atas al-kautsar tersebut kita
wajib bersyukur kepada Allah dengan lisan dan amal perbuatan, dan (3) kita
tidak usah menghiraukan stigma orang lain terhadap diri kita karena Allah
selalu bersama kita.
Demikian kajian singkat bertema Insirasi Surat al-Kautsar. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar