Rabu, 25 September 2013

Reposisi Penerapan Ekonomi Islam Dalam Menanggulangi Krisis



Oleh: Atep Firmansyah, S.E.I
 
Sudah hampir 23 tahun Ekonomi Islam menjadi bagian pembangunan di Indonesia. Seiring dengan itu pula telah bermunculan institusi bisnis seperti bank syariah, koperasi syariah, asuransi syariah, leasing syariah, ataupun institusi pendidikan yang mengaku menerapkan, mengajarkan konten dan konsep ekonomi syariah. Istilah syariah pun seolah menjadi “barang” jualan yang dapat mengangkat nilai bahkan laba bagi pemakainya.
       Sementara dalam lingkup negara, beberapa dari konsep ekonomi Islam diakomodasi dalam bentuk UU diantaranya lahirnya UU perbankan syariah, UU Zakat. Sebagian lagi dijadikan instrumen fiskal dan moneter.
       Sejatinya, dalam tataran positif Islam sebagai rahmatan lil alamin, ketika konsepnya digunakan oleh umatnya maka yang terjadi adalah akan tercipta keharmonisan dan keteraturan hidup. Ia akan mampu mengeliminasi problematika bangsa dan rakyatnya sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Sehingga, masyarakat hidup dengan aman dan sejahtera.
       Akan tetapi marilah kita lihat wajah perekonomian Indonesia saat ini, setelah ekonomi Islam hadir di tengah kita.  Pada awalnya semua berharap sistem ekonomi Islam mampu menjawab berbagai macam persoalan yang menumpuk, seperti kesenjangan sosial yang makin tinggi dan beban hutang yang kian tahun malah tambah menjerat, kemiskinan dan berbagai persoalan lainnya.

Gambaran Kondisi Perekonomian Indonesia
·      Kesenjangan kesejahteraan atau ketimpangan ekonomi di Indonesia berada di tingkat mengkhawatirkan yakni ada di level 0,41 berdasarkan ukuran indeks gini rasio. Indeks gini merupakan salah satu indikator ketimpangan suatu negara yang memiliki skala 0 sampai 1.

Dengan indeks gini rasio seperti di atas, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, “Total akumulasi asset 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan sebanyak 77 juta penduduk”

·      Dari data BPS, penduduk miskin pada 2007 sebanyak 37,17 juta orang atau 16,58 %, 2008 sebanyak 34,96 juta orang atau 15,42 %, 2009 sebanyak 32,53 juta orang atau 14,15 %, 2010 sebanyak 31,02 juta orang atau 13,33 %, Maret 2011 sebanyak 30,02 juta orang atau 12,49 %, September 2011 sebanyak 29,89 juta orang atau 12,36 %, Maret 2012 sebanyak 29,13 juta orang atau 11,96 %, September 2012 sebanyak 28,59 juta orang atau 11,66 %dan Maret 2013 sebanyak 28,07 juta orang atau 11,37 %.
·      Bank Indonesia mencatat Indonesia pada triwulan II 2013 masih mengalami defisit neraca pembayaran sebesar Rp 25 trilyun rupiah atau 4,4 % dari PDB.
·      Nilai tukar rupiah saat ini anjlok bahkan sempat menyentuh rekor tertinggi dalam 3 tahun hampir menyentuh Rp 12.000 per dolar AS.
·      Masih tingginya tingkat utang Indonesia. Per bulan Mei 2013 utang Indonesia mencapai 2.036 trilyun (Harian Kompas,18 Juni 2013)
·      Meningkatnya harga kebutuhan pokok seperti beras, telur ayam, ayam ras, bawang merah, bahkan kini tahu dan tempe. Padahal menurut data Badan Pusat Statistik komoditas tersebut merupakan termasuk pada komoditas yang memberikan pengaruh besar terhadap naiknya angka kemiskinan.
       Dengan kenyataan seperti telah digambarkan di atas, di manakah posisi ekononi syariah dalam membantu membangun dan mengatasi perekonomian Indonesia? Apa yang salah dengan ekonomi Islam di negeri ini? Salah konstruksi konsep dan teori kah atau salah dalam penerapan? Padahal, 23 tahun adalah waktu yang digunakan Rasulullah untuk membangun peradaban Islam dan menciptakan kesejahteraan bagi ummatnya.
       Maka, tak heran jika sebagian kalangan yang memang apatis dengan yang berbau Islam bersikap skeptis (ragu) dengan keberadaan ekonomi Islam. Sehingga, muncul tanya di benak mereka benarkah sistem ini feasible (mungkin) untuk diterapkan di duna nyata dengan segala bentuk modernitasnya atau hanya sebuah ilusi yang utopis (khayalan).

Reposisi Penerapan Ekonomi Islam
Sebelum membahas reposisi penerapan ekonomi Islam, ada baiknya kita menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang makna reposisi.
       Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, re·po·si·si /réposisi/ n penempatan kembali ke posisi semula; penataan kembali posisi yang ada; penempatan ke posisi yang berbeda atau baru.
       Dengan kata tersebut setidaknya sudah bisa menjawab persoalan kenapa Ekonomi Islam seolah tak berdaya dalam mengatasi permasalahan yang ada, khususnya setelah 23 tahun menjadi bagian pembangunan di Indonesia.
       Jawabannya adalah karena Ekonomi Islam tidak diposisikan dengan benar dan tidak pada tempatnya. Selama ini Ekonomi Islam tidak dianut dan diterapkan secara sistem yang utuh dan menyeluruh. Penerapannya masih berupa pengamalan subsistemnya secara parsial dan cenderung mengikuti budaya latah saja.
       Bahkan cenderung terbangun anggapan yang sangat keliru bahwa Ekonomi Islam adalah bank dan lembaga keuangan syariah saja. Ekonomi Islam tidak berbicara masalah public finance, Ekonomi Islam tidak mempunyai konsep fiskal dan moneter yang bisa diterapkan dalam perekonomian modern suatu negara, Ekonomi Islam tidak berbicara mengenai perdagangan apalagi ekspor dan impor. Ekonomi Islam tidak berbicara mengenai pasar yang ideal. Ekonomi Islam juga tidak berbicara masalah harga. Bahkan lebih jauh Ekonomi Islam tidak memiliki strategi yang jelas untuk menghapuskan kesenjangan.
       Kesalahan paradigma inilah yang mengkerdilkan ke-kaaffah-an konsep luhur ekonomi transcendent (luar biasa dan utama) yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Padahal, main issue (topik utama) yang dihadapi sebuah perekonomian baik zaman Rasulullah maupun saat ini adalah sama kemiskinan, kemakmuran, pasar, harga dan perdagangan.
       Konsekuensi logis dari kesalahan paradigma di atas adalah menilai maju dan berkembangnya ekonomi Islam hanya didasarkan kepada satu sisi saja, yaitu berupa pertumbuhan asset bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Padahal, jika benchmarking (acuan) dasar perkembangannya semata kepada pertumbuhan perbankan saja, bisa jadi itu hanya pertumbuhan yang semu.
       Karena, pertumbuhan bank syariah dan lembaga keuangan syariah sama sekali tidak menggambarkan bahwa masyarakat telah kebagian kue ekonomi yang sesungguhnya/ economic growth with equity. Telah terciptanya fair price  (tsaman ‘adl: stabilitas harga) dalam aktivitas perekonomian di pasar. Atau berarti masyarakat sudah sejahtera sebagai inti dari tujuan ekonomi.
       Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam yang merupakan subsistem dari keseluruhan Sistem Islam itu sendiri, desain nya harus merupakan aplikasi dari fondasi utama dari Islam itu sendiri. Yaitu berada diatas pondasi tauhid yang benar.
       Ismail Raji’ al-Faruqi mengatakan bahwa fondasi ini harus dibangun melalui proses perubahan paradigma, dari seculer paradigm menjadi tawhidic paradigm (paradigma tauhid). Dengan fondasi ini, maka sistem ekonomi Islam mempunyai kepastian langkah dan tujuan pokok; semua dari Allah dan semua dilakukan dengan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas dan semua akan berakhir dan kembali kepada-Nya.
       Kedua, sistem ekonomi Islam pun harus mempunyai minimal tiga pilar yang kokoh: pertama, lembaga fiscal dan regulator pasar; kedua, kegiatan ekonomi yang berdasarkan prinsip kesetaraan dalam berbagi hasil dan jauh dari unsur riba, maysir dan ghoror; ketiga, pemahaman masyarakat akan pentingnya menjalankan roda perekonomian secara adil dan transparan sesuai dengan akhlak Islam.
       Ketiga, unsur itu adalah goals (tujuan), ultimate (atas) dan intermediate  (menengah), yang secara garis besar merupakan penciptaan suatu tatanan perekonomian yang berorientasi meraih kesuksesan secara materi (di dunia) dan kejayaan secara spiritual (di akhirat). Nantinya, hasil penerapan dari konsep  ekonomi Islam ini sebagaimana tergambar diantaranya kemampuan menghadapi krisis panjang seperti yang terjadi di jaman Nabi Yusuf. Atau, seperti pada jaman Umar bin Abdul Aziz dimana kemiskinan terentaskan sehingga tidak terdapat lagi mustahik yang berhak disantuni zakat. Dilanjutkan dengan kegemilangan masa Harun al-Rasyid dalam mencerdaskan dan memberikan peluang yang sama kepada rakyat untuk mendapat ilmu pengetahuan. Jadi, Ekonomi Islam dapat dikatakan gagal jika tidak mampu memenuhi hak dasar manusia.
       Demikianlah sejarah mencatat kegemilangan yang terjadi jika Ekonomi Islam dibangun di atas pondasi yang benar dan dijalankan dengan sistem yang benar pula.
       Wallahu a’lam

*) Penulis adalah alumnus Pesantren Persatuan Islam 7 Cempakawarna (2003) dan STEI TAZKIA Bogor (2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar