Oleh: Atep Firmansyah, S.E.I
Sudah hampir 23 tahun Ekonomi Islam
menjadi bagian pembangunan di Indonesia. Seiring dengan itu pula telah
bermunculan institusi bisnis seperti bank syariah, koperasi syariah, asuransi
syariah, leasing syariah, ataupun institusi pendidikan yang mengaku menerapkan,
mengajarkan konten dan konsep ekonomi syariah. Istilah syariah pun seolah
menjadi “barang” jualan yang dapat mengangkat nilai bahkan laba bagi pemakainya.
Sementara dalam lingkup negara, beberapa dari konsep ekonomi Islam
diakomodasi dalam bentuk UU diantaranya lahirnya UU perbankan syariah, UU
Zakat. Sebagian lagi dijadikan instrumen fiskal dan moneter.
Akan tetapi marilah kita lihat wajah perekonomian Indonesia saat ini,
setelah ekonomi Islam hadir di tengah kita.
Pada awalnya semua berharap sistem ekonomi Islam mampu menjawab berbagai
macam persoalan yang menumpuk, seperti kesenjangan sosial yang makin tinggi dan
beban hutang yang kian tahun malah tambah menjerat, kemiskinan dan berbagai
persoalan lainnya.
Gambaran Kondisi
Perekonomian Indonesia
·
Kesenjangan kesejahteraan atau ketimpangan ekonomi di
Indonesia berada di tingkat mengkhawatirkan yakni ada di level 0,41 berdasarkan
ukuran indeks gini rasio. Indeks gini merupakan salah satu indikator
ketimpangan suatu negara yang memiliki skala 0 sampai 1.
Dengan indeks gini rasio seperti di atas,
menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, “Total
akumulasi asset 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan sebanyak
77 juta penduduk”
·
Dari data BPS, penduduk miskin pada 2007 sebanyak 37,17 juta
orang atau 16,58 %, 2008 sebanyak 34,96 juta orang atau 15,42 %, 2009 sebanyak
32,53 juta orang atau 14,15 %, 2010 sebanyak 31,02 juta orang atau 13,33 %,
Maret 2011 sebanyak 30,02 juta orang atau 12,49 %, September 2011 sebanyak
29,89 juta orang atau 12,36 %, Maret 2012 sebanyak 29,13 juta orang atau 11,96 %,
September 2012 sebanyak 28,59 juta orang atau 11,66 %dan Maret 2013 sebanyak
28,07 juta orang atau 11,37 %.
·
Bank Indonesia mencatat Indonesia pada triwulan II 2013
masih mengalami defisit neraca pembayaran sebesar Rp 25 trilyun rupiah atau 4,4
% dari PDB.
·
Nilai tukar rupiah saat ini anjlok bahkan sempat menyentuh
rekor tertinggi dalam 3 tahun hampir menyentuh Rp 12.000 per dolar AS.
·
Masih tingginya tingkat utang Indonesia. Per bulan Mei 2013
utang Indonesia mencapai 2.036 trilyun (Harian Kompas,18 Juni 2013)
·
Meningkatnya harga kebutuhan pokok seperti beras, telur
ayam, ayam ras, bawang merah, bahkan kini tahu dan tempe. Padahal menurut data
Badan Pusat Statistik komoditas tersebut merupakan termasuk pada komoditas yang
memberikan pengaruh besar terhadap naiknya angka kemiskinan.
Dengan kenyataan seperti telah digambarkan di atas, di manakah posisi
ekononi syariah dalam membantu membangun dan mengatasi perekonomian Indonesia?
Apa yang salah dengan ekonomi Islam di negeri ini? Salah konstruksi konsep dan
teori kah atau salah dalam penerapan? Padahal, 23 tahun adalah waktu yang digunakan
Rasulullah untuk membangun peradaban Islam dan menciptakan kesejahteraan bagi
ummatnya.
Maka, tak heran jika sebagian kalangan yang memang apatis dengan yang
berbau Islam bersikap skeptis (ragu) dengan keberadaan ekonomi Islam. Sehingga,
muncul tanya di benak mereka benarkah sistem ini feasible (mungkin) untuk
diterapkan di duna nyata dengan segala bentuk modernitasnya atau hanya sebuah
ilusi yang utopis (khayalan).
Reposisi Penerapan Ekonomi
Islam
Sebelum membahas reposisi penerapan
ekonomi Islam, ada baiknya kita menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang
makna reposisi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
re·po·si·si /réposisi/ n penempatan kembali ke posisi semula; penataan kembali
posisi yang ada; penempatan ke posisi yang berbeda atau baru.
Dengan kata tersebut setidaknya sudah bisa menjawab persoalan kenapa
Ekonomi Islam seolah tak berdaya dalam mengatasi permasalahan yang ada,
khususnya setelah 23 tahun menjadi bagian pembangunan di Indonesia.
Jawabannya adalah karena Ekonomi Islam tidak diposisikan dengan benar
dan tidak pada tempatnya. Selama ini Ekonomi Islam tidak dianut dan diterapkan
secara sistem yang utuh dan menyeluruh. Penerapannya masih berupa pengamalan
subsistemnya secara parsial dan cenderung mengikuti budaya latah saja.
Bahkan cenderung terbangun anggapan yang sangat keliru bahwa Ekonomi Islam
adalah bank dan lembaga keuangan syariah saja. Ekonomi Islam tidak berbicara
masalah public finance, Ekonomi Islam tidak mempunyai konsep fiskal dan
moneter yang bisa diterapkan dalam perekonomian modern suatu negara, Ekonomi
Islam tidak berbicara mengenai perdagangan apalagi ekspor dan impor. Ekonomi Islam
tidak berbicara mengenai pasar yang ideal. Ekonomi Islam juga tidak berbicara
masalah harga. Bahkan lebih jauh Ekonomi Islam tidak memiliki strategi yang
jelas untuk menghapuskan kesenjangan.
Kesalahan paradigma inilah yang mengkerdilkan ke-kaaffah-an konsep luhur ekonomi transcendent (luar biasa dan utama) yang
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Padahal, main
issue (topik utama) yang dihadapi sebuah perekonomian baik zaman Rasulullah
maupun saat ini adalah sama kemiskinan, kemakmuran, pasar, harga dan
perdagangan.
Konsekuensi logis dari kesalahan paradigma
di atas adalah menilai maju dan berkembangnya ekonomi Islam hanya didasarkan
kepada satu sisi saja, yaitu berupa pertumbuhan asset bank syariah dan lembaga
keuangan syariah lainnya. Padahal,
jika benchmarking (acuan) dasar perkembangannya semata kepada
pertumbuhan perbankan saja, bisa jadi itu hanya pertumbuhan yang semu.
Karena, pertumbuhan bank syariah dan lembaga keuangan syariah sama
sekali tidak menggambarkan bahwa masyarakat telah kebagian kue ekonomi yang
sesungguhnya/ economic growth with equity.
Telah terciptanya fair price (tsaman
‘adl: stabilitas harga)
dalam aktivitas perekonomian di pasar. Atau berarti masyarakat sudah sejahtera
sebagai inti dari tujuan ekonomi.
Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam yang merupakan subsistem dari
keseluruhan Sistem Islam itu sendiri, desain nya harus merupakan aplikasi dari
fondasi utama dari Islam itu sendiri. Yaitu berada diatas pondasi tauhid yang
benar.
Ismail Raji’ al-Faruqi mengatakan bahwa fondasi ini harus dibangun
melalui proses perubahan paradigma, dari seculer paradigm menjadi tawhidic
paradigm (paradigma tauhid). Dengan fondasi ini, maka sistem ekonomi Islam
mempunyai kepastian langkah dan tujuan pokok; semua dari Allah dan semua
dilakukan dengan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas dan
semua akan berakhir dan kembali kepada-Nya.
Kedua, sistem
ekonomi Islam pun harus mempunyai minimal tiga pilar yang kokoh: pertama,
lembaga fiscal dan regulator pasar; kedua, kegiatan ekonomi yang
berdasarkan prinsip kesetaraan dalam berbagi hasil dan jauh dari unsur riba,
maysir dan ghoror; ketiga, pemahaman masyarakat akan pentingnya
menjalankan roda perekonomian secara adil dan transparan sesuai dengan akhlak
Islam.
Ketiga, unsur itu adalah goals (tujuan), ultimate (atas)
dan intermediate (menengah),
yang secara garis besar merupakan penciptaan suatu tatanan perekonomian yang
berorientasi meraih kesuksesan secara materi (di dunia) dan kejayaan secara
spiritual (di akhirat). Nantinya, hasil penerapan dari konsep ekonomi Islam ini sebagaimana tergambar
diantaranya kemampuan menghadapi krisis panjang seperti yang terjadi di jaman
Nabi Yusuf. Atau, seperti pada jaman Umar bin Abdul Aziz dimana kemiskinan terentaskan
sehingga tidak terdapat lagi mustahik yang berhak disantuni zakat. Dilanjutkan
dengan kegemilangan masa Harun al-Rasyid dalam mencerdaskan dan memberikan
peluang yang sama kepada rakyat untuk mendapat ilmu pengetahuan. Jadi, Ekonomi
Islam dapat dikatakan gagal jika tidak mampu memenuhi hak dasar manusia.
Demikianlah sejarah mencatat kegemilangan yang terjadi jika Ekonomi
Islam dibangun di atas pondasi yang benar dan dijalankan dengan sistem yang
benar pula.
Wallahu a’lam
*) Penulis adalah alumnus Pesantren
Persatuan Islam 7 Cempakawarna (2003) dan STEI TAZKIA Bogor (2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar