Oleh: Yusuf Awaludin
Islam Agama yang Syumuliyah (Menyeluruh)
Salah satu karakter yang mempertegas keindahan Islam adalah agama Islam itu syumuliyah alias komprehensif. Dalam arti, dari hal-hal yang dianggap kecil sampai hal-hal yang dianggap besar, Islam mengatur segala ruang lingkupnya.
Sebagai contoh, urusan makan dan minum yang merupakan kodrati, Islam mengatur di sana. Tentang cara memerolehnya dan tata cara pelaksanaannya. Pertama, dzat dan kaifiyat (cara mendapatkan) harus thayib (baik) dan halal. Kedua, makan dan minum harus secara benar yaitu (1) membaca doa sebelum dan sesudahnya, (2) menggunakan tangan kanan, (3) sambil duduk, dan (4) bersyukur atas nikmat yang dirasa.
Ini hal kecil, tetapi ketika hal kecil saja diatur oleh Islam, maka hal-hal besar sudah tentu ada SOP-nya alias Standar Operational Procedure alias aturan bakunya. Termasuk ke dalam hal ini adalah, Islam mengatur tentang ibadah maliyah (harta). Dari mana sumber pendapatan, bagaiamana cara mendapatkan dan kemanakah distribusi harta yang diperoleh?
Konsep Harta dalam Islam
Rasulullah saw. bersabda:
لا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أفنَاهُ؟ وَعَنْ عِلمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفيمَا أنْفَقَهُ؟ وَعَنْ جِسمِهِ فِيمَا أبلاهُ؟
Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang empat perkara, yaitu (1) tentang umurnya, dalam hal apa ia habiskan?; (2) tentang ilmunya, apa ia lakukan dengan ilmu itu?; (3) tentang hartanya, dari mana ia mengusahakannya dan dalam hal apa ia menghabiskannya?; dan (4) tentang jasmaninya, dalam hal apa ia menggunakannya?” (H.R. Tirmidzi).
Dari keempat hal yang akan dihisab sebagaimana hadits di muka, ada salah satu di antaranya tentang manajemen pengelolaan harta yang ditegaskan dengan kalimat hadits wa ‘an mālihī, min ayna iktasabahu wa fīmā anfaqahu, dari mana ia mengusahakannya dan dalam hal apa ia menghabiskannya? Maka, dalam ruang terbatas ini, penulis akan memfokuskan pembahasan tentang konspe harta dalam perspektif Islam.
1. Harta adalah alat beribadah
Islam memandang, selain alat mendapat kesenangan, harta juga merupakan alat untuk beribadah. Dengan ibadah maliyah ini kebahagiaan dan ketenangan hidup pun akan diperoleh karena janji Allah secara muluk-muluk akan diberikan kepada setiap hamba yang menjadikan harta sebagai alat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Apa janji Allah tersebut? Banyak. Salah satunya mari kita pahami terjemahan dalil nash (teks) berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. (Q.S. Fathir [35]: 29).
Salah satu kaidah ushul fiqih pun menyebutkan:
اَلأَمْرُ فِى شَيْئٍ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah dalam suatu hal merupakan perintah terhadap perantara-perantaranya”.
Perintah zakat, infaq dan sedekah, tidak semata-mata kewajiban yang Allah bebankan kepada yang sudah mampu, tetapi yang belum mampu pun diharapkan memiliki cita-cita untuk menjadi muzakki. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Hendaklah orang yang mampu, berinfak menurut kemampuannya; dan orang yang disempitkan rezkinya (tidak mampu) hendaklah berinfak dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Q.S. Ath-Thalaq [65]: 7).
Jelaslah bahwa yang diperintahkan Allah untuk berinfak dalam ayat tersebut adalah orang yang mampu dan orang yang tidak mampu. Maka, tidak ada alasan lagi bagi siapapun untuk tidak berinfak, wong infak adalah instruksi Allah bagi semua pihak.
Lalu, bagaimana perantara agar hal tersebut (infak: distribusi harta) bisa tercapai? Ya… tentunya berikhtiar mencari rezeki. Tidak berpangku tangan. Tidak menunggu bola tapi menjemput bola bahkan menciptakan bola sendiri.
Kenapa infak (baca: distribusi harta) harus “dipaksakan” agar bisa diamalkan setiap hamba Allah? Jawaban lugasnya, Allah tidak ingin hamba-hamba-Nya menjadi ketergantungan kepada sesama. Allah menghendaki agar semua hamba-Nya berdikari dan mandiri sehingga bisa menjemput rezeki secara maksimal terlepas dari hasil yang dicapai. Dengan begitu, ia bisa beribadah kepada Allah dengan harta yang dimilikinya. Maka, harta pun akan menjadi alat mendekat kepada Allah. Ketika sudah dekat dengan Allah, Allah akan mudah menghendaki kebaikan yang diinginkan hamba-hamba-Nya.
2. Harta adalah ujian
Dua macam ujian yang dikemukakan dalam Q.S. al-A’raf (7) ayat 168 sudah sangat jelas bahwa apapun yang kita terima saat ini, baik berupa kesenangan termasuk di dalamnya harta benda, maupun keburukan (menurut rasa manusia) seperti sakit atau kerugian dalam berbisnis, merupakan ujian Allah SWT.
Karena harta ini adalah ujian, maka ada dua tipologi orang yang merupakan output (hasil) dari ujian harta. Pertama, orang yang takwa. Kedua, orang yang kufur. Siapapun yang berhasil melalui ujian harta dengan membelanjakannya di jalan Allah, maka dialah yang disebut takwa (lihat Q.S. Ali Imran [3]: 133-135!). Dan, siapapun yang tidak bisa membelanjakan harta di jalan Allah, maka dia adalah orang yang kufur, orang yang diancam dengan siksaan keras (lihat Q.S. Ibrahim [14]: 7!).
“Berbisnis” bersama Allah SWT
Misalnya Anda sedang menginvestasikan harta pada sebuah toko sebesar Rp 10.000.000. Perjanjian dengan pemilik toko, Anda mendapat 10% dari laba. Jika pembagian laba disepakati setiap bulan, dan toko mendapat laba sebesar Rp 7.000.000 misalnya, maka dalam bulan itu Anda mendapat bagian sebesar Rp 700.000. Lumayan bukan? Anda hanya duduk dan melakukan investasi lain di toko atau perusahaan lain, pendapatan Anda cukup banyak.
Sidang Pembaca yang dimuliakan Allah, demikian juga dengan distribusi harta fi sabilillah (di jalan Allah), merupakan “bisnis” besar bersama Allah. Bahkan keuntungan yang akan didapat uncountable, tidak bisa dihitung secara materi karena begitu banyak dan besar. Keuntungan ini, boleh Anda pahami sebagai keuntungan dunia. Namun yang lebih tepat adalah keuntungan ini merupakan investasi masa depan (baca: surga).
Allah SWT befirman:
مَنْ ذَا الَّذِى يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Barangsiapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 245).
Sekali lagi, membelanjakan harta di jalan Allah dengan Zakat, Infaq dan Sedekah merupakan “bisnis” yang sangat menguntungkan dan menyelamatkan. Berbeda dengan membelanjakan harta bukan di jalan Allah apalagi di jalan kemaksiatan, sangat rugi dan tidak menyelamatkan. Pantaslah bahwa orang yang mendistribusikan hartanya di jalan Allah merupakan salah satu sifat orang bertakwa yang dijanjikan surga.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar