Oleh: Yusuf Awaludin
lmu, Harta atau Jabatan?
Nabi Sulaiman a.s. merupakan nabiyullah yang tercatat dalam sejarah sebagai nabi yang cerdas, kaya raya, berkuasa dan shalih. Ada hadits yang mengisahkan tentang nabi Sulaiman. Namun, hadits tersebut sanadnya dla’if (lemah). Walaupun begitu, tidak berlebihan jika hadits tersebut kita rasionalkan. Haditsnya bebunyi seperti ini:
خُيِّرَ سُلَيْمَانُ بَيْنَ الْمَالِ وَالْمُلْكِ وَالْعِلْمِ فَاخْتَارَ الْعِلْمَ فَأُعْطِيَ الْمُلْكُ وَالْمَالُ لِاخْتِيَارِهِ الْعِلْمِ
“Sulaiman diberi pilihan antara harta, kerajaan, atau ilmu. Maka Sulaiman memilih ilmu. Lalu dengan sebab memilih ilmu (pada akhirnya) ia diberi kerajaan dan harta.” (H.R. Ibnu ‘Asakir dan ad-Dailami).
Dalam hadits tersebut, Nabi Sulaiman lebih memilih ilmu daripada harta dan kerajaan. Ini adalah pilihan yang sangat tepat. Nabi Sulaiman paham betul bahwa ilmu itu tidak seperti harta dan kerajaan. Ilmu itu ringan dibawa ke mana-mana. Ilmu itu bagaikan biji yang tumbuh menjadi pohon yang kemudian menghasilkan buah yang segar dan bermanfaat. Ilmu itu cahaya yang menyingkirkan duri dan gelapnya jalan menuju tujuan sehingga kita akan tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Mana arah ke surga mana arah ke neraka. Mana jalan menuju kaya dan mana jalan menuju kemelaratan. Dengan begitu, kita tinggal memilih mau melangkah di jalan mana kita? Tentunya semua pilihan memiliki konsekuensi masing-masing.
Berbekal ilmu yang luas, Nabi Sulaiman berhasil menguasai dunia bukan dikuasai dunia. Ia pun berhasil menjadi raja yang cerdas nan kaya raya. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa, tidaklah berlebihan jika hadits dla’if tersebut dirasionalkan. Dan, memang begitulah fakta dan realitas bahwa orang berilmu derajatnya lebih tinggi daripada yang tidak berilmu.
Mari kita buat contoh kongkrit. Seorang dokter dibanding seorang Abang penjual bajigur yang biasa mangkal dengan membawa gerobaknya, siapakah yang penghasilannya lebih besar? Jawabannya kita ukur menurut Sunnatullah (baca: sistem kehidupan) bahwa dokterlah yang lebih besar penghasilannya. Selain modal awalnya besar, ilmunya pun intensif dan ekstensif dibanding Abang bajigur. Maaf, saya tidak bermaksud untuk mendikhotomi (membeda-bedakan) antara dokter dan Abang bajigur. Saya dan Anda juga yakin bahwa bukan status atau strata social yang dipandang Allah tetapi bagaimana ia mengoptimalkan status dan strata sosialnya untuk menjemput ridha Allah SWT.
Dokter pun dibagi dua, ada dokter spesialis ada pula dokter umum. Nah, di antara dua dokter tersebut, tentunya yang lebih mahal adalah dokter spesialis. Kenapa? Karena ilmu tentang spesialisasinya cukup mendalam ketimbang dokter umum.
Contoh tersebut sudah menjadi bukti bahwa ilmu itu selalu saja bersinggungan dengan rezeki. Dalam hal ini adalah rezeki materi. Bahkan Allah pun secara tegas menyatakan bahwa orang berilmu itu diangkat derajatnya daripada yang tidak berilmu.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadilah [58]: 11).
Oleh karena itu, menjadi orang berilmulah sebagaimana yang Rasulullah sebutkan dalam hadits jika kita ingin menjadi orang yang mulia di hadapan Allah dan manusia serta dilapangkan rezeki. Ini pasti!
Ilmu dan Rezeki
Rumusannya sudah kita dapatkan bahwa menjadi orang berilmu itu adalah cara untuk menjadi orang yang banyak rezeki. Lalu, rezeki apa saja yang akan didapat ketika kita sudah menjadi orang berilmu. Untuk menghindari misunderstanding (kesalahapahaman) dalam memahami, terlebih dahulu kita bahas apa itu rezeki?
Rezeki merupakan kata serapan yang diadaptasikan dari bahasa Arab yaitu dari kata razaqa. Seperti halnya rakyat merupakan serapan dari kata ra’yatun (asuhan, kepemimpinan) dan derajat yang diadaptasikan dari kata darajatun.
Kembali ke pengertian rezeki. Menurut Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya, rezeki adalah:
كُلُّ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ مِنْ مَأْكَلٍ أَوْ مَشْرَبٍ أَوْ مَلْبَسٍ أَوْ مَسْكَنٍ أَوْ مُرَافِقٍ وَقَدْ يَأْتِي فِي صُوْرَةٍ مَعْنَوِيَّةٍ كَالْعِلْمِ وَالْحِلْمِ . . إلخ
“Segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, atau teman bergaul. Terkadang rezeki datang dalam bentuk ma’nawiyah seperti ilmu, sikap lemah lembut, dan lain-lain”
Sekarang sudah jelas berdasarkan persepsi Asy-Sya’rawi bahwa rezeki itu bukan saja uang tetapi seluruh hal yang bermanfaat baik madiyah (materi), ruhiyah (ruhani, ketenangan) maupun aqliyah (intelektual). Maka, ilmu juga sebenarnya adalah rezeki dari Allah SWT yang akan menjadi wasilah datangnya rezeki-rezeki lainnya..
Yang memiliki ilmu kesehatan, cenderung akan sehat karena mengetahui seluk beluk tentang kesehatan, penjagaannya dan pencegahan penyakit kecuali jika sudah beurusan dengan takdir mutlak Allah. Yang memiliki ilmu tentang bisnis ia cenderung mendapat hasil maksimal daripada yang bisnis tanpa ilmu. Yang memiliki ilmu tentang agama lalu mengamalkannya cenderung akan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Demikianlah implikasi atau akibat dari memiliki ilmu.
Dengan ilmu dunia akan diraih,. Dengan ilmu akhirat akan dijangkau. Maka yakinkan bahwa diri kita termasuk golongan orang yang berilmu atau pencari ilmu atau penyimak ilmu atau pecinta ilmu. Janganlah diri kita menjadi orang yang kelima. Berilmu tidak, belajar tidak, menyimak tidak, dan cinta ilmu pun tidak. Celakalah yang teralami oleh orang yang demikian.
Empat Tipe Orang dalam Hal Ilmu dan Rezeki
Terkait ilmu dan rezeki, dalam hal ini adalah harta, ada empat tipe orang berdasarkan hadits Rasulullah saw., yaitu (1) orang yang diberi ilmu dan harta, lalu ia bertakwa kepada Allah dan mendapatkan rahmat Allah, dan ia mengetahui yang hak karena Allah; (2) orang yang diberi ilmu tapi tidak diberi harta, lalu ia berazam jika diberi harta ia akan beramal seperti amal orang pada tipe pertama, maka pahala keduanya sama; (3) orang yang diberi harta tapi tidak diberi ilmu, ia menghabiskan hartanya tidak dengan ilmu, tidak bertakwa kepada Allah, tidak mendapat rahmat Allah, dan tidak mengetahui yang hak karena Allah; dan (4) orang yang tidak diberi harta tidak pula diberi ilmu, lalu ia bercita-cita jika ia diberi harta ia akan beramal seperti seperti orang tipe ketiga, maka dosa keduanya sama saja.
Ikhwata iman yang dirahmati Allah, ada di tipe yang manakah kita? Yang pasti semoga kita berada pada tipe pertama, berilmu dan berharta. Dengan hal ini kita bisa beribadah, berzakat, sedekah, naik haji, dll.. Kalau pun tidak, minimal berada pada tipe kedua, berilmu walaupun tanpa harta. Maka, hidup pun akan menjadi tenang dan bahagia karena amal kita adalah amal berasarkan ilmu.
Untuk mewujudkan hal tersebut tiada lain diri kita harus bergerak menjemput ilmu dan hidayah. Bukan berpangku tangan. Bukan pula menunggu ilmu ladunniy karena ilmu itu adalah rezeki dan rezeki itu harus dijemput. Bergeraklah lalu bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, dijamin 100% bahwa rezekinya akan lancar dan afiyat. Rezeki yang tidak terbanding materi. Rezeki berupa kesehatan, anak-anak shalih, keluarga SAMARA alias sakinah, mawaddah dan rahmah. Rezeki berupa ketenangan dan kebhagiaan sejati. Rezeki berupa surga yang tiada tara nikmatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar