Selasa, 20 November 2012

AL HIJRATU (bagian II)



Oleh: Nandang Herdiana, S.Pd.I

Pada edisi yang lalu telah diceriterakan hijrahnya Rasulullah saw. sampai beliau berada di Gua Tsur. Maka pada edisi kali ini akan diceriterakan mengenai perjalanan menuju Madinah, singgah di Quba dan memasuki Kota Madinah.

Perjalanan Menuju Madinah
Manakala semangat untuk melakukan pencarian terhadap Rasulullah sudah mulai mengendur dan mobilitas patrol pemeriksaan selama tiga hari dihentikan karena tidak ada hasil, Rasulullah saw. dan sahabat setianya, Abu Bakar, segera keluar menuju Madinah.
       Sebelumnya mereka berdua telah menyewa Abdullah bin Uraiqith al-Laytsiy sebagai penunjuk jalan. Dia pada saat itu masih menganut agama kaum kafir Quraisy. Namun, Rasulullah dan Abu Bakar menaruh kepercayaan kepadanya dan menyerahkan kedua unta mereka kepadanya.
       Rasulullah membuat perjanjian dengannya untuk bertemu di Gua Tsur setelah tiga malam dengan membawa kedua unta tersebut.
       Malam Senin, awal bulan Rabi’ul Awwal 1 H yang bertepatan dengan tanggal 16 September 622 M, Abdullah bin Uraiqith menemui keduanya dengan membawa kedua unta tersebut.
       “Wahai Rasulullah, gunakanlah salah satu dari kedua unta ini!” Tandas Abu Bakar. Lalu, ia menyerahkan unta terbaik dari keduanya kepada Rasulullah. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Aku bayar sesuai harga.”
       Asma binti Abu Bakar mendatangi keduanya dengan membawa bekal makanan namun lupa mengikatnya dengan tali. Tatkala keduanya bersiap untuk berangkat, dia pergi untuk mengikatkan bekal makanan tersebut pada pelana unta, namun ternyata tidak ada tali pengikatnya. Lalu dia menyobek ikat pinggangnya menjadi dua bagian, satu bagian dia ikatkan ke bekal makanan tersebut dan yang satu lagi untuk dipakainya. Oleh karena itulah dia dijuluki Dzātun Nithādain (pemilik dua ikat pinggang).
       Kemudian Rasulullah saw. dan Abu Bakar berangkat, ikut serta pula bersama mereka Amir bin Fuhairah. Mereka semua dibimbing oleh Abdullah bin Uraiqith dengan menempuh jalan pesisir pantai.
       Begitu keluar dari gua, jalur pertama yang dilaluinya untuk membimbing mereka adalah arah seletan menuju Yaman, kemudian ke arah barat menuju pesisir. Lalu setelah tembus ke jalan yang tidak pernah dilalui orang, dia menuju ke arah utara, dekat pinggir pantai Laut Merah. Dia telah mengambil jalur yang sangat jarang ditempuh orang.
       Berikut adalah paparan sebagian peristiwa yang terjadi dalam perjalana tersebut:
        Pertama, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Bakar  r.a, dia berkata, “Kami telah melakukan perjalanan sepanjang malam dan begitu pula keesokan harinya hingga matahari tepat di atas kepala. Suasana jalanan lengang dan tidak seorang pun yang lewat.
       Lalu aku mengangkat sebuah batu besar yang berukuran panjang yang mempunyai bayangan sehingga tidak tersengat oleh terik sinar matahari. Kami singgah untuk berteduh di bawahnya. Aku meratakan tempat dengan tanganku sendiri untuk Nabi saw. sehingga beliau dapat tidur. Lalu aku membentangkan hamparan yang terbuat dari kulit binatang.
       “Tidurlah wahai Rasulullah, aku akan mengontrol di sekelilingmu.” ucapku. Tiba-tiba aku melihat seorang penggembala sedang menggiring kambingnya menuju batu besar tersebut. Dia ingin berteduh seperti kami.
       Lalu aku bertanya kepadanya, “Siapa tuanmu, bocah?”. Dia menjawab, “Seorang dari penduduk Madinah.”. Aku bertanya, “Apakah kambing yang kamu gembalakan ada air susunya?”. Dia menjawab, “Ya”. Aku bertanya, “Apakah dapat diperah?”. Dia menjawab, “Ya”.
       Lalu dia mengambil seekor kambing. Aku berkata, “Bersihkanlah susunya dari tanah, bulu dan kotoran!” Lalu dia memerah semua air susu yang terkumpul. Kemudian aku mendatangi Rasulullah saw., namun beliau masih tertidur.
       Setelah beliau terjaga barulah aku memberikannya. Aku menuangkan air susu sehingga bagian bawahnya menjadi dingin. Lalu aku berkata, “Minumlah, wahai Rasulullah!” Beliau pun meminumnya hingga aku merasa puas dengan hal itu. Kemudian Beliau berkata, “Bukankah sudah waktunya berangkat?” Aku menjawab, “Benar”. Lalu kami pun berangkat.
       Kedua, diantara kebiasaan Abu Bakar ialah selalu membonceng Nabi saw.. Hal ini karena beliau seorang sepuh yang sudah dikenal. Sementara Nabi saw. masih muda dan belum dikenal. Seorang laki-laki berkata kepada Abu Bakar, “Siapa laki-laki yang bersamamu ini?”. Dia menjawab, “Orang ini menunjukiku jalan” Maksudnya ialah menunjuki jalan kebaikan”. Namun orang tersebut mengira hanya sekedar menunjuki jalan (yang ditelusuri).
       Ketiga, Rasulullah saw. dan Abu Bakar diincar oleh Suraqah bin Malik. Suraqah bertutur, “Tatkala aku sedang duduk-duduk di majlis kaumku, Bani Mudlij, datanglah seorang laki-laki dari mereka sehingga berdiri di hadapan kami yang sedang duduk-duduk.
       “Wahai Suraqah, baru saja aku melihat para musuh di pesisir. Aku kira mereka adalah Muhammad dan para sahabatnya.” ucapnya. Lalu aku mengetahui bahwa merekalah orangnya.
       Lantas aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya yang kamu lihat bukan mereka akan tetapi kamu melihat si Fulan dan si Fulan yang berangkat di depan mata kita.”.
       Kemudian aku berdiam di majlis sesaat. Lalu berdiri dan masuk lagi. Lantas aku menyuruh budak wanitaku agar mengeluarkan kudaku yang berada di belakang bukit, lalu dia menahannya untukku.
       Selanjutnya aku mengambil tombakku lantas keluar melalui bagian belakang rumah. Aku membuat garis di tanah dengan kepala tombakku dan menurunkan bagian atasnya hinga aku menghampiri kudaku lantas menungganginya. Aku mengendalikannya agar membawaku lebih dekat hingga aku mendekat dari mereka. Namun kudaku terjungkal sehingga aku terjatuh darinya. Lalu aku berdiri, sementara tanganku meraih busur lalu aku mengeluarkan anak-anak panah lantas mengundinya. “Apakah aku harus mencelakai mereka atau tidak?”.
       Namun undian yang keluar justru yang tidak aku sukai, lantas aku menunggangi kudaku dan tidak mempedulikan hasil undian yang keluar tadi.
       Tiba-tiba terperosoklah kedua lengan kudaku ke dalam tanah sampai sebatas lutut hingga membuatku terjatuh darinya. Kemudian aku menderanya, lalu ia pun bangkit lagi. Namun kedua lengannya itu hampir tidak dapat dikeluarkan.
       Tatkala kuda itu sudah mulai berdiri tegak, tiba-tiba bekas kedua lengannya tadi menimbulkan debu yang mengepul seperti asap. Lantas aku mengundi dengan anak-anak panah lagi. Namun sekali lagi, yang keluar adalah justru yang aku benci.
       Lantas aku berteriak memanggil mereka bahwa mereka aman. Mereka pun menghentikan langkah, lalu aku menunggangi kudaku hingga menemui mereka. Ketika aku bertemu dan mengingat apa yang baru saja aku alami saat tertahan dari menjamah mereka, terbersitlah dalam diriku bahwa apa yang dibawa Rasulullah saw. akan mendapatkan kemenangan.
       Lalu aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya kaummu telah menyediakan hadiah 100 ekor unta bagi yang dapat menangkapmu.” Aku juga memberitahukan kepada mereka perihal apa yang akan dilakukan orang-orang terhadap mereka.
       Lantas aku menawarkan mereka perbekalan dan barang, namun beliau tidak melakukan tawaran terhadapku dan tidak meminta apapun kecuali hanya berkata, “Rahasiakanlah keberadaan kami.” Lalu aku memintanya agar menuliskan jaminan perlindungan untukku. Maka beliau memerintahkan Amir bin Fuhairah untuk menuliskannya, lalu dia menulisnya untukku pada sepotong kulit. Kemudian Rasulullah saw. pun pergi berlalu.”
       Keempat, dalam perjalannanya tersebut, beliau melewati kemah Ummu Ma’bad al-Khuza’iyyah. Dia seorang wanita yang cerdas dan pekerja ulet, sudah terbiasa hidup di halaman kemahnya, kemudian memberi makan dan minum para pelalu lalang di sana.
       Mereka berdua bertanya kepadanya tentang apakah dia memiliki sesuatu. Dia menjawab, “Demi Allah, andaikata kami memilki sesuatu niscaya kami tidak akan kikir menjamu kalian. Kambing-kambing kami digembalakan di tempat yang jauh.” Waktu itu adalah musim paceklik.
       Rasulullah saw. memandang kepada seekor domba yang ada di samping kemah, lalu bertanya, “Bagaimana kondisi domba ini, wahai Ummu Ma’bad?”.
       Dia menjawab, Ia adalah domba yang tak mampu lagi mencari makan.” Beliau bertanya, “Apakah ia masih memiliki air susu?. Dia menjawab, “Bahkan kondisinya lebih parah lagi”. Beliau berkata, “Apakah kamu mengizinkanku untuk memerah susunya?.
       “Silahkan, bila engkau melihatnya memliki air susu, perahlah!” Lalu Rasulullah saw. memerah putingnya dengan tangannya, membaca basmallah dan berdo’a.
       Maka mengembanglah putingnya dan mengalirlah air susunya dengan banyak. Tak berapa lama datanglah suaminya, Abu Ma’bad, menggiring kambing-kambingnya yang kurus kering. Tatkala melihat ada air susu, dia terheran-heran seraya bertanya, “Dari mana engkau dapatkan ini, padahal domba-domba digembalakan di tempat yang jauh dan di rumah tidak ada susu?”
       Sang istri menjawab, “Demi Allah, tidak demikian. Hanya saja beberapa saat yang lalu seorang laki-laki yang diberkahi melewati perkehaman kita. Suaminya berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku berpendapat dia adalah orang yang dicari-cari oleh orang –orang Quraisy”.
       Kelima, di dalam perjalanannya, Nabi saw. bertemu dengan Buraidah bin al-Hashib al-Aslami yang membawa 80 orang keluarganya. Dia menyatakan keislamannya bersama mereka. Rasulullah saw. melakukan Shalat Isya, lalu mereka bermakmum kepada beliau. Buraidah tinggal menetap di kampung halamannya hingga selesai perang Uhud, barulah mendatangi Rasulullah saw..

Singgah di Quba
Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun 14 dari kenabian, yang berarti tahun pertama hijrah, bertepatan dengan 23 September 622 M, Rasulullah saw. singgah di Quba. Penduduk Quba menyambutnya dengan salam kenabian dan wahyu pun turun:
فَإِنَّ اللهَ هُوَ مَوْلهُ وَجِبْرِيْلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمَلئِكَةُ بَعْدَ ذلِكَ ظَهِيْرٌ
“Maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan begitu pula Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu para Malaikat adalah penolongnya pula.” (Q.S. at-Tahrim [66]: 4).
       Beliau tinggal di Quba selama empat hari; Senin, Selasa, Rabu dan Kamis. Selama itu pula Beliau mendirikan Mesjid Quba dan shalat di dalamnya. Beliau berjalan menuju Madinah, namun ketika di perkampungan Bani Salim bin Auf, waktu Jum’at sudah masuk, lalu Beliau melakukan Shalat Jumat bersama mereka di masjid yang berada di sana. Mereka berjumlah 100 orang laki-laki.

Memasuki Kota Madinah
Seusai Shalat Jum’at, Nabi saw. memasuki kota Madinah. Dan sejak hari itu, kota Yatsrib dinamakan dengan Madinatur Rasul (Kota Rasulullah) yang kemudian dikenal dengan sebutan Madinah.
       Hari itu adalah hari bersejarah yang amat agung. Rumah-rumah dan jalan-jalan ketika itu bergemuruh dengan pekikan tahmid dan taqdis. Putra-putri kaum Anshar menyanyikan bait-bait puisi berikut sebagai ekspresi kegembiraan dan keriangan:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنَيَّةِ الْوَدَاعِ وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَادَعَا لِلّهِ دَاعِ أَيُّهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا جِئْتَ بِالأَمْرِ الْمُطَاعِ
“Bulan Purnama muncul di hadapan kita. Dari jalan di sela-sela bukit Wada’. Kita wajib bersyukur karenanya. Atas apa yang kepada Allah dipanjatkannya. Wahai orang yang diutus kepada kami. Engkau telah membawa perkara yang dita’ati”.
       Ada yang unik perihal singgahnya Rasulullah saw. di Madinah. Rumah yang akan disinggahi Rasulullah saw. tergantung kepada unta yang beliau tunggangi. Hal ini atas petunjuk Allah SWT semata. Ternyata rumah yang beliau singgahi adalah kerabat terdekat dari keluarga ibu kakek beliau (Abdul Muthalib) yaitu Bani Najjar. Lalu Abu Ayyub al-Anshari bergegas mengambil perbekalan beliau dan membawa masuk ke rumahnya.
       Maka Rasulullah saw. berkata, “Seseorang selalu bersama perbekalannya”. Lantas datanglah As’ad bin Zurarah seraya mengambil kendali untanya dan selanjutnya unta tersebut bersamanya.
       Setelah beberapa hari, sampai pula istri Beliau, Saudah, kedua putri beliau (Fatimah dan Ummu Kultsum), Usamah bin Zaid dan Ummu Aiman. Bersama mereka juga Abdullah bin Abu Bakar dan Aisyah. Aisyah berkata, “Lalu aku mendatangi Rasulullah saw. dan menginformasikannya.
       Beliau pun bersabda, “Ya Allah, anugrahilah kami kecintaan terhadap Madinah sebagaimana kecintaan kami terhadap Mekah bahkan lebih dari itu. Jadikanlah ia tempat yang sehat, berkahilah sha’ dan mud (timbangan) bagi penduduknya serta pindahkanlah penyakit demam yang ada di dalamnya ke Juhfah.”.
       Hingga disini berakhirlah kehidupan Rasulullah saw. dan usailah fase Dakwah Islamiyah yang merupakan fase Mekah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar