Oleh: Nandang Herdiana, S.Pd.I
Pada edisi yang lalu telah diceriterakan
hijrahnya Rasulullah saw. sampai beliau berada di Gua Tsur. Maka pada edisi
kali ini akan diceriterakan mengenai perjalanan menuju Madinah, singgah di Quba
dan memasuki Kota Madinah.
Perjalanan Menuju Madinah
Manakala semangat untuk melakukan pencarian terhadap
Rasulullah sudah mulai mengendur dan mobilitas patrol pemeriksaan selama tiga
hari dihentikan karena tidak ada hasil, Rasulullah saw. dan sahabat setianya,
Abu Bakar, segera keluar menuju Madinah.
Rasulullah membuat perjanjian dengannya untuk bertemu di Gua Tsur
setelah tiga malam dengan membawa kedua unta tersebut.
Malam
Senin, awal bulan Rabi’ul Awwal 1 H yang bertepatan dengan tanggal 16 September
622 M, Abdullah bin Uraiqith menemui keduanya dengan membawa kedua unta
tersebut.
“Wahai
Rasulullah, gunakanlah salah satu dari kedua unta ini!” Tandas Abu
Bakar. Lalu, ia menyerahkan unta terbaik dari keduanya kepada Rasulullah. Rasulullah
saw. berkata kepadanya, “Aku bayar sesuai harga.”
Asma binti Abu Bakar mendatangi keduanya dengan membawa bekal makanan
namun lupa mengikatnya dengan tali. Tatkala keduanya bersiap untuk berangkat,
dia pergi untuk mengikatkan bekal makanan tersebut pada pelana unta, namun
ternyata tidak ada tali pengikatnya. Lalu dia menyobek ikat pinggangnya menjadi
dua bagian, satu bagian dia ikatkan ke bekal makanan tersebut dan yang satu
lagi untuk dipakainya. Oleh karena itulah dia dijuluki Dzātun Nithādain
(pemilik dua ikat pinggang).
Kemudian
Rasulullah saw. dan Abu Bakar berangkat, ikut serta pula bersama mereka Amir
bin Fuhairah. Mereka semua dibimbing oleh Abdullah bin Uraiqith dengan menempuh
jalan pesisir pantai.
Begitu
keluar dari gua, jalur pertama yang dilaluinya untuk membimbing mereka adalah
arah seletan menuju Yaman, kemudian ke arah barat menuju pesisir. Lalu setelah
tembus ke jalan yang tidak pernah dilalui orang, dia menuju ke arah utara,
dekat pinggir pantai Laut Merah. Dia telah mengambil jalur yang sangat jarang
ditempuh orang.
Berikut
adalah paparan sebagian peristiwa yang terjadi dalam perjalana tersebut:
Pertama,
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Bakar
r.a, dia berkata, “Kami telah melakukan perjalanan sepanjang malam dan
begitu pula keesokan harinya hingga matahari tepat di atas kepala. Suasana
jalanan lengang dan tidak seorang pun yang lewat.
Lalu
aku mengangkat sebuah batu besar yang berukuran panjang yang mempunyai bayangan
sehingga tidak tersengat oleh terik sinar matahari. Kami singgah untuk berteduh
di bawahnya. Aku meratakan tempat dengan tanganku sendiri untuk Nabi saw.
sehingga beliau dapat tidur. Lalu aku membentangkan hamparan yang terbuat dari
kulit binatang.
“Tidurlah
wahai Rasulullah, aku akan mengontrol di sekelilingmu.” ucapku. Tiba-tiba aku
melihat seorang penggembala sedang menggiring kambingnya menuju batu besar
tersebut. Dia ingin berteduh seperti kami.
Lalu
aku bertanya kepadanya, “Siapa tuanmu, bocah?”. Dia menjawab, “Seorang dari
penduduk Madinah.”. Aku bertanya, “Apakah kambing yang kamu gembalakan ada air
susunya?”. Dia menjawab, “Ya”. Aku bertanya, “Apakah dapat diperah?”. Dia
menjawab, “Ya”.
Lalu
dia mengambil seekor kambing. Aku berkata, “Bersihkanlah susunya dari tanah,
bulu dan kotoran!” Lalu dia memerah semua air susu yang terkumpul. Kemudian aku
mendatangi Rasulullah saw., namun beliau masih tertidur.
Setelah
beliau terjaga barulah aku memberikannya. Aku menuangkan air susu sehingga
bagian bawahnya menjadi dingin. Lalu aku berkata, “Minumlah, wahai Rasulullah!”
Beliau pun meminumnya hingga aku merasa puas dengan hal itu. Kemudian Beliau
berkata, “Bukankah sudah waktunya berangkat?” Aku menjawab, “Benar”. Lalu kami
pun berangkat.
Kedua,
diantara kebiasaan Abu Bakar ialah selalu membonceng Nabi saw.. Hal ini karena
beliau seorang sepuh yang sudah dikenal. Sementara Nabi saw. masih muda dan
belum dikenal. Seorang laki-laki berkata kepada Abu Bakar, “Siapa laki-laki yang
bersamamu ini?”. Dia menjawab, “Orang ini menunjukiku jalan” Maksudnya ialah
menunjuki jalan kebaikan”. Namun orang tersebut mengira hanya sekedar menunjuki
jalan (yang ditelusuri).
Ketiga,
Rasulullah saw. dan Abu Bakar diincar oleh Suraqah bin Malik. Suraqah bertutur,
“Tatkala aku sedang duduk-duduk di majlis kaumku, Bani Mudlij, datanglah
seorang laki-laki dari mereka sehingga berdiri di hadapan kami yang sedang
duduk-duduk.
“Wahai
Suraqah, baru saja aku melihat para musuh di pesisir. Aku kira mereka adalah
Muhammad dan para sahabatnya.” ucapnya. Lalu aku mengetahui bahwa merekalah
orangnya.
Lantas
aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya yang kamu lihat bukan mereka akan tetapi
kamu melihat si Fulan dan si Fulan yang berangkat di depan mata kita.”.
Kemudian
aku berdiam di majlis sesaat. Lalu berdiri dan masuk lagi. Lantas aku menyuruh
budak wanitaku agar mengeluarkan kudaku yang berada di belakang bukit, lalu dia
menahannya untukku.
Selanjutnya
aku mengambil tombakku lantas keluar melalui bagian belakang rumah. Aku membuat
garis di tanah dengan kepala tombakku dan menurunkan bagian atasnya hinga aku
menghampiri kudaku lantas menungganginya. Aku mengendalikannya agar membawaku
lebih dekat hingga aku mendekat dari mereka. Namun kudaku terjungkal sehingga
aku terjatuh darinya. Lalu aku berdiri, sementara tanganku meraih busur lalu
aku mengeluarkan anak-anak panah lantas mengundinya. “Apakah aku harus
mencelakai mereka atau tidak?”.
Namun
undian yang keluar justru yang tidak aku sukai, lantas aku menunggangi kudaku
dan tidak mempedulikan hasil undian yang keluar tadi.
Tiba-tiba
terperosoklah kedua lengan kudaku ke dalam tanah sampai sebatas lutut hingga
membuatku terjatuh darinya. Kemudian aku menderanya, lalu ia pun bangkit lagi.
Namun kedua lengannya itu hampir tidak dapat dikeluarkan.
Tatkala
kuda itu sudah mulai berdiri tegak, tiba-tiba bekas kedua lengannya tadi
menimbulkan debu yang mengepul seperti asap. Lantas aku mengundi dengan anak-anak
panah lagi. Namun sekali lagi, yang keluar adalah justru yang aku benci.
Lantas
aku berteriak memanggil mereka bahwa mereka aman. Mereka pun menghentikan
langkah, lalu aku menunggangi kudaku hingga menemui mereka. Ketika aku bertemu
dan mengingat apa yang baru saja aku alami saat tertahan dari menjamah mereka,
terbersitlah dalam diriku bahwa apa yang dibawa Rasulullah saw. akan
mendapatkan kemenangan.
Lalu
aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya kaummu telah menyediakan hadiah 100 ekor unta
bagi yang dapat menangkapmu.” Aku juga memberitahukan kepada mereka perihal apa
yang akan dilakukan orang-orang terhadap mereka.
Lantas
aku menawarkan mereka perbekalan dan barang, namun beliau tidak melakukan
tawaran terhadapku dan tidak meminta apapun kecuali hanya berkata,
“Rahasiakanlah keberadaan kami.” Lalu aku memintanya agar menuliskan jaminan
perlindungan untukku. Maka beliau memerintahkan Amir bin Fuhairah untuk
menuliskannya, lalu dia menulisnya untukku pada sepotong kulit. Kemudian Rasulullah
saw. pun pergi berlalu.”
Keempat,
dalam perjalannanya tersebut, beliau melewati kemah Ummu Ma’bad al-Khuza’iyyah.
Dia seorang wanita yang cerdas dan pekerja ulet, sudah terbiasa hidup di
halaman kemahnya, kemudian memberi makan dan minum para pelalu lalang di sana.
Mereka
berdua bertanya kepadanya tentang apakah dia memiliki sesuatu. Dia menjawab,
“Demi Allah, andaikata kami memilki sesuatu niscaya kami tidak akan kikir
menjamu kalian. Kambing-kambing kami digembalakan di tempat yang jauh.” Waktu
itu adalah musim paceklik.
Rasulullah
saw. memandang kepada seekor domba yang ada di samping kemah, lalu bertanya,
“Bagaimana kondisi domba ini, wahai Ummu Ma’bad?”.
Dia
menjawab, “Ia adalah domba yang tak mampu lagi mencari makan.” Beliau
bertanya, “Apakah ia masih memiliki air susu?”. Dia menjawab, “Bahkan
kondisinya lebih parah lagi”. Beliau berkata, “Apakah kamu mengizinkanku untuk
memerah susunya?”.
“Silahkan, bila engkau melihatnya memliki air susu, perahlah!” Lalu Rasulullah
saw. memerah putingnya dengan tangannya, membaca basmallah dan berdo’a.
Maka
mengembanglah putingnya dan mengalirlah air susunya dengan banyak. Tak berapa
lama datanglah suaminya, Abu Ma’bad, menggiring kambing-kambingnya yang kurus kering.
Tatkala melihat ada air susu, dia terheran-heran seraya bertanya, “Dari mana
engkau dapatkan ini, padahal domba-domba digembalakan di tempat yang jauh dan
di rumah tidak ada susu?”
Sang
istri menjawab, “Demi Allah, tidak demikian. Hanya saja beberapa saat yang lalu
seorang laki-laki yang diberkahi melewati perkehaman kita. Suaminya berkata,
“Demi Allah, sesungguhnya aku berpendapat dia adalah orang yang dicari-cari
oleh orang –orang Quraisy”.
Kelima,
di dalam perjalanannya, Nabi saw. bertemu dengan Buraidah bin al-Hashib
al-Aslami yang membawa 80 orang keluarganya. Dia menyatakan keislamannya
bersama mereka. Rasulullah saw. melakukan Shalat Isya, lalu mereka bermakmum
kepada beliau. Buraidah tinggal menetap di kampung halamannya hingga selesai
perang Uhud, barulah mendatangi Rasulullah saw..
Singgah di Quba
Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun
14 dari kenabian, yang berarti tahun pertama hijrah, bertepatan dengan 23
September 622 M, Rasulullah saw. singgah di Quba. Penduduk Quba menyambutnya
dengan salam kenabian dan wahyu pun turun:
فَإِنَّ اللهَ هُوَ مَوْلهُ وَجِبْرِيْلُ وَصَالِحُ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمَلئِكَةُ بَعْدَ ذلِكَ ظَهِيْرٌ
“Maka sesungguhnya Allah adalah
pelindungnya dan begitu pula Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan
selain dari itu para Malaikat adalah penolongnya pula.” (Q.S. at-Tahrim [66]: 4).
Beliau tinggal di Quba selama empat hari; Senin, Selasa, Rabu dan Kamis. Selama itu pula Beliau mendirikan
Mesjid Quba dan shalat di dalamnya. Beliau berjalan menuju Madinah, namun
ketika di perkampungan Bani Salim bin Auf, waktu Jum’at sudah masuk, lalu Beliau melakukan Shalat Jum’at bersama mereka di masjid yang berada di sana. Mereka berjumlah 100
orang laki-laki.
Memasuki Kota Madinah
Seusai Shalat Jum’at, Nabi saw. memasuki kota Madinah. Dan sejak hari itu, kota Yatsrib
dinamakan dengan Madinatur Rasul (Kota Rasulullah)
yang kemudian dikenal dengan sebutan Madinah.
Hari itu
adalah hari bersejarah yang
amat agung. Rumah-rumah dan jalan-jalan ketika itu bergemuruh dengan pekikan tahmid
dan taqdis. Putra-putri kaum Anshar menyanyikan bait-bait puisi berikut sebagai
ekspresi kegembiraan dan keriangan:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنَيَّةِ
الْوَدَاعِ وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَادَعَا لِلّهِ دَاعِ أَيُّهَا
الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا جِئْتَ بِالأَمْرِ الْمُطَاعِ
“Bulan Purnama muncul di hadapan
kita. Dari jalan di sela-sela bukit Wada’. Kita wajib bersyukur karenanya. Atas
apa yang kepada Allah dipanjatkannya. Wahai orang yang diutus kepada kami.
Engkau telah membawa perkara yang dita’ati”.
Ada yang
unik perihal singgahnya Rasulullah
saw. di Madinah. Rumah yang akan disinggahi Rasulullah saw. tergantung kepada unta
yang beliau tunggangi. Hal ini atas petunjuk Allah SWT semata. Ternyata rumah
yang beliau singgahi adalah kerabat terdekat dari keluarga ibu kakek beliau
(Abdul Muthalib)
yaitu Bani Najjar. Lalu Abu Ayyub al-Anshari
bergegas mengambil perbekalan beliau dan membawa masuk ke rumahnya.
Maka Rasulullah
saw. berkata, “Seseorang selalu bersama perbekalannya”. Lantas datanglah As’ad bin Zurarah
seraya mengambil kendali untanya dan selanjutnya unta tersebut bersamanya.
Setelah
beberapa hari, sampai pula istri Beliau,
Saudah, kedua putri beliau (Fatimah dan Ummu Kultsum), Usamah bin Zaid dan Ummu
Aiman. Bersama mereka juga Abdullah bin Abu Bakar dan Aisyah. Aisyah berkata,
“Lalu aku mendatangi Rasulullah saw. dan menginformasikannya.
Beliau pun bersabda, “Ya Allah,
anugrahilah kami kecintaan terhadap Madinah sebagaimana kecintaan kami terhadap
Mekah bahkan lebih dari itu. Jadikanlah
ia tempat yang sehat, berkahilah sha’ dan mud (timbangan) bagi penduduknya serta pindahkanlah penyakit demam
yang ada di dalamnya ke Juhfah.”.
Hingga disini berakhirlah kehidupan Rasulullah
saw. dan usailah fase Dakwah Islamiyah yang merupakan fase Mekah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar